Belakangan ini, surat perjanjian yang mengatur kerahasiaan mengenai keracunan Makan Bergizi Gratis (MBG) di Sleman menjadi viral. Berdasarkan informasi yang beredar, pihak penerima manfaat MBG diminta untuk menjaga kerahasiaan terkait informasi jika terjadi insiden keracunan. Ketentuan tersebut tercantum dalam perjanjian kerja sama antara Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG) dan penerima manfaat. Sebelum kita membahas lebih jauh mengenai keabsahan perjanjian kerahasiaan terkait keracunan makanan, marilah kita terlebih dahulu memahami hal-hal berikut:
Apa yang di Maksud Perjanjian?
Pengertian perjanjian pada dasarnya dapat ditemukan dalam ketentuan Pasal 1313 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, sebagai berikut:
Suatu persetujuan adalah suatu perbuatan dimana satu orang atau lebih mengikatkan diri terhadap satu orang lain atau lebih.
Kemudian, berdasarkan artikel “Macam-Macam Perjanjian dan Syarat Sahnya”, perjanjian sebagai suatu kontrak merupakan perikatan yang memiliki konsekuensi hukum yang mengikat bagi para pihak, di mana pelaksanaannya berkaitan dengan hukum kekayaan masing-masing pihak yang terikat dalam perjanjian tersebut.
Asas Kebebasan Berkontrak
Lantas, apa saja asas-asas yang mendasari kontrak? Dalam pelaksanaan suatu perjanjian atau kontrak, terdapat prinsip-prinsip yang harus diperhatikan oleh para pihak agar perjanjian tersebut dapat berlangsung dengan baik dan adil. Salah satunya adalah asas kebebasan berkontrak.
Asas kebebasan berkontrak dapat ditemukan dalam Pasal 1338 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata:
Semua persetujuan yang dibuat sesuai dengan undang-undang berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Persetujuan itu tidak dapat ditarik kembali selain dengan kesepakatan kedua belah pihak, atau karena alasan-alasan yang ditentukan oleh undang-undang. Persetujuan harus dilaksanakan dengan itikad baik.
Asas kebebasan berkontrak mengandung pengertian bahwa para pihak memiliki kebebasan untuk menyusun perjanjian dan mengatur isi perjanjian tersebut, dengan syarat memenuhi ketentuan sebagai berikut:
1. Memenuhi syarat sah sebagai suatu perjanjian;
2. tidak dilarang oleh undang-undang;
3. sesuai dengan kebiasaan yang berlaku; dan
4. sepanjang perjanjian tersebut dilaksanakan dengan iktikad baik.
Selain itu, sebagaimana dirangkum dari artikel “Asas-Asas yang Berlaku dalam Hukum Kontrak”, yang mengutip Agus Yudha Hernoko dalam bukunya “Hukum Perjanjian: Asas Proporsionalitas dalam Kontrak Komersial” (hal. 111), para pihak diberikan kebebasan untuk:
1. menentukan atau memilih kausa dari perjanjian yang akan dibuatnya;
2. menentukan objek perjanjian;
3. menentukan bentuk perjanjian; dan
4. menerima atau menyimpangi ketentuan undang-undang yang bersifat opsional (aanvullend, optional).
Merujuk pada penjelasan di atas, pada dasarnya, para pihak dalam perjanjian memiliki kebebasan untuk merumuskan dan mengatur isi perjanjian tersebut. Namun, hal ini tidak berarti bahwa perjanjian dapat disusun secara sembarangan tanpa adanya batasan yang jelas.
Terkait dengan kasus diatas, apakah perjanjian yang mengatur kewajiban pihak (atau para pihak) untuk menjaga kerahasiaan informasi dalam hal terjadinya kasus keracunan makanan yang beredar, dapat dianggap sah?
Syarat Sahnya Perjanjian
Perlu dicatat bahwa syarat sahnya suatu perjanjian diatur secara khusus dalam Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata:
Supaya terjadi persetujuan yang sah, perlu dipenuhi empat syarat:
1. kesepakatan mereka yang mengikatkan dirinya;
2. kecakapan untuk membuat suatu perikatan;
3. suatu pokok persoalan tertentu;
4. suatu sebab yang tidak terlarang.
Disarikan dari artikel “Empat Syarat Sah Perjanjian dan Akibatnya Jika Tidak Terpenuhi,” keempat syarat sah tersebut dibagi menjadi dua kategori, yaitu syarat subjektif dan syarat objektif.
Syarat subjektif merujuk pada kriteria yang berkaitan dengan individu atau subjek yang terlibat dalam perjanjian, yang terdiri dari:
1. kesepakatan mereka yang mengikatkan dirinya;
2. kecakapan untuk membuat suatu perikatan.
Sedangkan syarat objektif adalah syarat mengenai objek hukum yang diperjanjikan oleh subjek hukum yang membuat kontrak, antara lain:
1. suatu pokok persoalan tertentu;
2. suatu sebab yang tidak terlarang.
Setiap jenis syarat perjanjian memiliki konsekuensi tersendiri apabila suatu perjanjian tidak memenuhinya. Apabila perjanjian tidak memenuhi syarat subjektif, maka perjanjian tersebut dapat dibatalkan. Sementara itu, jika perjanjian tidak memenuhi syarat objektif, maka perjanjian tersebut batal demi hukum.
Terkait dengan keabsahan perjanjian yang menyembunyikan keracunan makanan, kami berpendapat bahwa perlu diteliti apakah syarat objektif, khususnya “suatu sebab yang tidak terlarang,” telah terpenuhi atau tidak.
Keabsahan Perjanjian yang Merahasiakan Keracunan Makanan
Sebab pada syarat ini bukanlah merupakan faktor yang mendorong seseorang untuk membuat perjanjian. Hal ini disebabkan oleh kenyataan bahwa elemen yang memicu seseorang untuk menyusun suatu perjanjian, atau dorongan batin untuk melakukannya, pada dasarnya tidak menjadi perhatian hukum.
Sebab atau Kausa (Causa) yang dimaksud di atas merujuk secara eksklusif pada substansi perjanjian. Terkait dengan sebab atau causa yang dilarang, diatur lebih lanjut dalam Pasal 1337 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, yang berbunyi:
Suatu sebab adalah terlarang, jika sebab itu dilarang oleh undang-undang atau bila sebab itu bertentangan dengan kesusilaan atau dengan ketertiban umum.
Merujuk pada bunyi pasal tersebut, dapat disimpulkan bahwa suatu sebab dianggap terlarang apabila bertentangan dengan undang-undang, norma kesusilaan, atau ketertiban umum.
Johannes Ibrahim Kosasih, dalam karyanya yang berjudul Kausa yang Halal dan Kedudukan Bahasa Indonesia dalam Hukum Perjanjian (hal. 135-137), menjelaskan berbagai alasan mengapa suatu sebab atau kausa dapat dinyatakan terlarang, antara lain:
1. Bertentangan dengan Undang-Undang
Secara jelas dan tegas, bertentangan dengan ketentuan hukum yang berlaku, apakah terdapat larangan terkait hal tersebut? Van Brakel mengklasifikasikan kausa yang dilarang oleh undang-undang menjadi dua kategori, yaitu:
a. yang prestasinya merupakan tindakan yang dilarang undang-undang; dan
b. larangan yang berhubungan dengan tanah.
2. Bertentangan dengan Kesusilaan
Menetapkan suatu hal yang bertentangan dengan kesusilaan (goede zeden) merupakan suatu tugas yang kompleks. Hal ini disebabkan oleh sifat istilah tersebut yang abstrak, yang isinya sangat bergantung pada konteks daerah serta penilaian individu mengenai kesusilaan.
Menurut J. Satrio, istilah (goede zeden) lebih tepat jika diterjemahkan sebagai “tata krama”, yang mencakup norma-norma yang berlaku di kalangan tertentu, seperti pengacara, dokter, notaris, dan profesi lainnya.
3. Bertentangan dengan Ketertiban Umum
Arti ketertiban umum memiliki cakupan yang lebih luas dibandingkan dengan kesusilaan, mencakup aspek keamanan negara. Oleh karena itu, dapat dipahami bahwa tindakan yang bertentangan dengan ketertiban umum berkaitan dengan isu-isu yang menyentuh kepentingan publik, seperti keamanan negara, kegelisahan dalam masyarakat, dan hal-hal serupa.
Setelah melakukan pengamatan lebih lanjut terhadap kasus yang Anda ajukan, penting untuk terlebih dahulu mengidentifikasi apakah terdapat ketentuan yang mengatur mengenai keracunan makanan. Berdasarkan penelusuran kami, keracunan makanan dapat merujuk pada ketentuan dalam Undang-Undang Pangan beserta perubahannya, serta peraturan pelaksanaannya, yaitu Peraturan Pemerintah Nomor 86 Tahun 2019.
Apabila terdapat kasus keracunan makanan, setiap individu yang menyadari hal tersebut berkewajiban untuk melaporkannya. Ketentuan ini diatur dalam Pasal 72 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 86 Tahun 2019, yang berbunyi:
Setiap orang yang mengetahui adanya dugaan keracunan pangan yang dialami lebih dari 1 orang harus melaporkan kepada fasilitas pelayanan kesehatan.
Apabila ketentuan di atas dikaitkan dengan kasus Anda, khususnya mengenai kausa halal sebagai syarat sah perjanjian, dapat disimpulkan bahwa perjanjian terkait kerahasiaan informasi mengenai keracunan makanan adalah batal demi hukum karena tidak memenuhi syarat objektif perjanjian. Hal ini disebabkan oleh ketentuan yang tercantum dalam Pasal 72 ayat (1) PP 86/2019 yang mengharuskan laporan terhadap keracunan pangan yang dialami oleh lebih dari satu orang.
Lebih jauh, kami berpendapat bahwa klausula “pihak penerima manfaat Makan Bergizi Gratis (‘MBG’) diminta untuk merahasiakan informasi jika terjadi keracunan” bertentangan dengan ketertiban umum. Rahasia informasi mengenai keracunan makanan justru dapat menimbulkan keresahan dan kekhawatiran di kalangan masyarakat terkait kesehatan yang disebabkan oleh insiden keracunan tersebut.
Dasar Hukum:
1. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata;
2. Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan;
3. Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja;
4. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja Menjadi Undang-Undang;
5. Peraturan Pemerintah Nomor 86 Tahun 2019 tentang Keamanan Pangan.